KIBLAT.NET – Para pakar dan pengamat memperingatkan dunia bahwa saat ini tampak sejumlah kesamaan mencolok dengan pemicu Perang Dunia I. Salah satu kesamaan yang disorot oleh sejarawan adalah keyakinan bahwa perang skala penuh antara negara-negara besar menjadi tidak terpikirkan setelah suatu periode berkepanjangan dilalui dengan damai.
“Sekarang, seperti dulu, pawai globalisasi telah membuai kita ke dalam rasa aman semu…. Peringatan 100 tahun 1914 seharusnya membuat kita merenungkan dengan cara baru pada kerentanan kita atas kesalahan manusiawi, bencana tiba-tiba, dan insiden tak terduga,” kata Prof. MacMillan dari Universitas Cambridge.
Dunia dapat menjadi tempat yang berbahaya, menakutkan, dan tak terduga. Kita mendengar berita bahwa Amerika Serikat (AS) memulai serangan udara terhadap gerilyawan di Irak dan Suriah. Ketakutan memuncak tentang pergerakan pasukan Rusia di dekat perbatasan dengan Ukraina. Headline berita utama dunia juga dipenuhi liputan Perang Gaza. Ketegangan di Asia, Afrika, dan peristiwa global lainnya semakin memprihatinkan. Setiap hari media menyajikan kabar yang mengkhawatirkan akan ketidakstabilan dunia yang semakin memuncak.
Sepertinya tingkat gejolak benar-benar telah mencapai tahapan yang unik. Apakah ini perasaan segelintir orang saja ataukah sudah menjadi perhatian banyak pihak? Yang jelas, para pakar kajian strategi dan sejumlah lembaga think tank telah memberikan perhatian yang serius akan fenomena ini. Bahkan, tak sedikit dari mereka yang mulai membandingkan situasi politik global pada tahun 2014 ini dengan kondisi seabad lalu, yaitu tahun 1914.
Peristiwa yang dianggap paling penting untuk dicatat adalah meletusnya Perang Dunia I. Yang dibandingkan adalah seberapa samakah prakondisi Perang Dunia I dengan situasi konflik global pada tahun ini? Jika terlalu banyak gejala yang mirip, terbuka peluang terjadinya serangkaian “peristiwa besar” di depan mata. Sementara, begitu banyak konflik geopolitik global yang belum menunjukkan titik terang akan usai.
Secara ringkas, antara tahun 1914 – 1918 Eropa diguncang “Perang Besar” (Great War), meskipun tidak sampai meluluhlantakkan seluruh negara. Selama Perang Dunia I, kekuatan Sentral (Jerman, Austria, Bulgaria, dan Turki) melawan Sekutu (Prancis, Inggris, dan Rusia). Selain ketiga negara di atas, Blok Prancis terdiri dari 20 negara lainnya, termasuk kelompok nasionalis Serbia dan Rumania.
Menengok Kembali Latar Belakang Perang Dunia I (1914-1918)
Penyebab Perang Dunia I, yang dimulai di Eropa Tengah pada akhir Juli 1914, termasuk faktor yang saling terkait, seperti konflik dan permusuhan sejak empat dekade menjelang perang. Militerisme, aliansi, imperialisme, dan nasionalisme juga memainkan peran utama dalam konflik ini. Meskipun begitu, asal usul langsung dari perang terletak pada keputusan yang diambil oleh para negarawan dan jenderal selama Krisis 1914.
Krisis itu terjadi setelah serangkaian pertikaian diplomatik yang panjang dan sulit antara negara- negara besar (Italia, Prancis, Jerman, Inggris, Austria- Hongaria, dan Rusia) atas isu-isu Eropa dan kolonial di dekade sebelum 1914 yang telah meninggalkan ketegangan tinggi. Pada gilirannya, bentrokan diplomatik ini dapat ditelusuri dengan perubahan keseimbangan kekuatan di Eropa sejak tahun 1867.[1] Kesimpulannya, peristiwa besar ini bukan hanya disebabkan oleh kejadian sesaat sebelum perang, tetapi melalui sebuah proses sejak dekade bahkan abad sebelumnya.
Penyebab lebih cepat untuk perang adalah ketegangan wilayah di Balkan. Austria-Hongaria bersaing dengan Serbia dan Rusia untuk wilayah dan pengaruh di kawasan ini. Mereka menarik seluruh negara-negara besar ke dalam konflik melalui berbagai aliansi dan perjanjian.
Topik penyebab Perang Dunia I adalah salah satu yang paling banyak dipelajari dalam sejarah dunia. Para ahli telah menafsirkan topik tersebut secara berbeda. Jika dilihat secara kronologis, dapat dilihat sebab umumnya sebagai berikut:
- Adanya pertentangan antara negara-negara Eropa, seperti antara Jerman dengan Prancis, Jerman dengan Inggris, dan Jerman dengan Rusia.
- Adanya politik persekutuan/System of Alliances.
- Perlombaan senjata yang timbul akibat adanya aliansi masing-masing negara, yang menumbuhkan sikap saling mencurigai dan saling mempersenjatai diri.
Jerman pun mengumumkan perang kepada Rusia pada tanggal 1 Agustus 1914 karena Rusia mendukung Serbia. Pada tanggal 3 Agustus 1914, Jerman mengumumkan perang lagi terhadap Prancis dan Belgia, yang diikuti dengan pendudukan Jerman atas Belgia. Sehari kemudian, yaitu pada tanggal 4 Agustus 1914, Inggris menyatakan perang terhadap Jerman. Kemudian pada tanggal 6 Agustus 1914, Austria-Hongaria mendeklarasikan perang melawan Rusia berbarengan dengan tantangan Serbia kepada Jerman.
Italia masuk ke blok Prancis pada tahun 1915 setelah mengumumkan perang terhadap Austria, karena ingin mendapatkan daerah Tirol selatan, Istria, dan Delmatia milik Austria. AS juga ikut Blok Prancis pada tahun 1917, karena Jerman menenggelamkan kapal Lusitania milik AS. Ketika AS bergabung dalam perang, kemenangan semakin jelas tampak ada di pihak Sekutu. Pada bulan November tahun berikutnya (1918), Sekutu mencatatkan kemenangannya.
Membayangkan Bagaimana Konflik Global Bisa Terpicu pada Tahun 2014
Apa yang terjadi jika Iran menenggelamkan sebuah kapal Angkatan Laut AS di Teluk ketika ekspor minyak dihalangi? Atau Al-Qa’idah memukul semua target Amerika Serikat secara simultan, terutama di Timur Tengah? Dan apa yang terjadi jika mujahidin memutuskan untuk merebut daerah buffer yang diduduki Israel? Ingat, betapa Israel telah dipaksa mundur dari Lebanon Selatan, kemudian wilayah Golan berhasil diduduki oleh mujahidin Suriah, serta Ansharul Mujahidin berhasil mendestabilisasi wilayah Sinai.
Atau bagaimana jika rudal-rudal mujahidin HAMAS mulai menghujani Tel Aviv, serta bagaimana pengaruh Salafi Jihadi mulai menguat di wilayah pendudukan, apa yang terbayang dalam benak Netanyahu dan Obama? Kemudian apakah Israel tidak akan tergoda untuk benar-benar melakukan serangan pre-emptive?
Dan tentu saja Hizbullah dan Iran tidak mungkin hanya duduk diam sambil memutar-mutar tasbih ketika melihat sekutu dekatnya Suriah babak belur dihajar oleh serangan mujahidin atau kecanggihan mesin-mesin perang Barat? Apakah Iran dan Hizbullah akan melupakan rezim Assad begitu saja?
Ada juga beberapa skenario yang bisa disimulasikan, di mana seluruh Timur Tengah bisa berkobar jika Barat benar-benar nekat menggempur Suriah, dan itu mungkin tidak akan terjadi sejak awal. Meski Rusia dan China secara tegas memperingatkan Pemerintah AS dan tidak akan terlibat perang di Suriah, tetapi kedua negara itu mewanti-wanti Barat akan rusaknya hubungan dua negara adidaya global.
Namun, sejak tanggal 23 September 2014, AS telah mendeklarasikan perang di Suriah. Bukan untuk memerangi Bashar Assad, tetapi kelompok jihadis. Ini bisa menjadi titik awal reaksi di mana kelompok mujahidin bertekad untuk melawan dan menyatakan perang, bukan hanya terhadap AS, tetapi juga sekutu-sekutu negara Arab di Timur Tengah.
Mungkinkah ini menjadi awal dari suatu mata rantai peristiwa yang akhirnya dapat menyebabkan konflik global besar dengan Rusia dan China di satu sisi, dan AS di sisi lain? Tentu saja tidak akan langsung terjadi; masih perlu waktu. Tapi, yang ditakutkan oleh semua orang saat ini adalah apa yang terjadi adalah sebuah setting dan skenario yang akan mengakibatkan beberapa hal yang benar-benar buruk bagi seluruh kehidupan umat manusia di muka bumi, sebagaimana Perang Dunia I dipicu oleh persoalan beberapa dekade sebelumnya.
Sejarah memang tidak pernah berulang secara persis; berbeda dengan sajak. Belum lama ini, paling tidak seorang sejarawan internasional yang dihormati, Profesor Margaret MacMillan, memperingatkan dunia bahwa saat ini tampak sejumlah kesamaan mencolok dengan pemicu Perang Dunia I.
Tentara mekanik yang belum pernah diproduksi sebelumnya, dan baru diproduksi pada awal abad ke-20, mulai digunakan di medan perang yang diklaim sebagai “perang untuk mengakhiri semua perang” setelah percikan menyala di Balkan dengan pembunuhan Putra Mahkota Austria-Hongaria Franz Ferdinand.
Profesor dari Universitas Cambridge ini berpendapat bahwa Timur Tengah dapat dipandang sebagai gejala zaman modern yang setara pada wilayah bergolak ini. Sebuah perlombaan senjata nuklir akan cenderung dimulai jika Iran mengembangkan bom “yang akan membuat dunia memang sangat berbahaya, yang dapat menyebabkan rekreasi (penemuan kembali) atau perlombaan senjata dari jenis yang mudah terbakar, seperti yang meledak di Balkan 100 tahun yang lalu. Hanya saja, kali ini dengan ‘awan jamur’ (mushroom clouds),” tulisnya dalam sebuah esai untuk Brookings Institution, lembaga think-tank terkemuka AS.[3]
“Meskipun sejarah tidak terulang secara persis, Timur Tengah saat ini memiliki kemiripan yang mengkhawatirkan dengan Balkan dalam perkembangannya,” katanya. “Kombinasi yang terjadi pada nasionalisme beracun mengancam untuk menarik kekuatan-kekuatan luar seperti Amerika Serikat, Turki, Rusia, dan Iran yang terlihat akan melindungi kepentingan dan klien mereka.”
Profesor MacMillan juga menyoroti serangkaian paralel lain antara hari ini dan satu abad yang lalu. Teroris Islam modern mencerminkan komunis revolusioner dan anarkis yang melakukan serangkaian pembunuhan atas nama filosofi yang menggunakan sanksi pembunuhan untuk mencapai visi mereka tentang dunia yang lebih baik. Dan pada tahun 1914, Jerman adalah kekuatan meningkat yang berusaha untuk menantang kekuatan yang dominan waktu itu, yaitu Inggris. Saat ini pula, pertumbuhan kekuatan China dianggap sebagai ancaman oleh beberapa negara, di antaranya Amerika Serikat.
Transisi dari satu kekuatan dunia kepada yang lain selalu dilihat sebagai hal yang berbahaya. Pada akhir 1920-an, AS menyusun rencana untuk perang dengan Kerajaan Inggris yang dapat mendorong invasi ke Kanada, sebagian karena diasumsikan bahwa konflik akan pecah ketika AS mengambil alih peran Inggris sebagai negara adidaya utama dunia.
Profesor MacMillan, yang bukunya The War That Ended Peace diterbitkan tahun lalu (2013), juga mengatakan, sentimen sayap kanan dan nasionalis meningkat di seluruh dunia, seperti juga gejala yang menjadi faktor sebelum Perang Dunia I.
Di China dan Jepang, nafsu patriotik telah meradang oleh sengketa serangkaian pulau di Laut China Timur, yang dikenal sebagai Senkaku di Jepang dan Diaoyu di China. “Peningkatan belanja militer China dan penumpukan kapasitas angkatan lautnya menghasilkan saran dalam kebijakan stratejik Amerika bahwa China bermaksud untuk menantang AS sebagai kekuatan Pasifik, dan kita sekarang melihat perlombaan senjata antara kedua negara di wilayah itu,” tulisnya dalam esainya. “The Wall Street Journal memiliki laporan otoritatif bahwa Pentagon sedang mempersiapkan rencana perang melawan China—untuk berjaga-jaga,” lanjutnya
AS memiliki perjanjian pertahanan diri bersama dengan Jepang dan pada tahun 2012 secara khusus menegaskan bahwa ini melingkupi Kepulauan Senkaku. Pada bulan November, China mendirikan sebuah zona “pertahanan udara” di atas wilayah kepulauan. Beberapa hari kemudian dua pesawat pembom AS B-52 terbang di atas pulau-pulau yang menyimpang dari arah Beijing tersebut.
“Hal ini cukup menggoda—dan perlu diseriusi— untuk membandingkan hubungan saat ini antara China dan Amerika Serikat dengan antara Jerman dan Inggris seabad yang lalu,” Profesor MacMillan menuliskan. Dia menunjuk kepada keresahan yang berkembang di AS selama investasi China di Amerika sementara “China mengeluh bahwa AS memperlakukan mereka sebagai kekuatan kelas dua”. Ini juga bisa dilihat dari kekhawatiran AS lewat larangannya kepada perusahaan AS untuk menggunakan vendor teknologi komunikasi dari China—seperti Huawei dan ZTE—karena khawatir dimata-matai.
Kesamaan lain yang disorot oleh sejarawan adalah keyakinan bahwa perang skala penuh antara negara-negara besar tidak terpikirkan setelah suatu periode berkepanjangan yang dilalui dengan damai. “Sekarang, seperti dulu, pawai globalisasi telah membuai kita ke dalam rasa aman semu,” katanya. “Peringatan 100 tahun 1914 seharusnya membuat kita merenungkan dengan cara baru pada kerentanan kita atas kesalahan manusiawi, bencana tiba-tiba, dan insiden tak terduga.”
“Alih-alih keluar dari keterpurukan bersama dari satu krisis ke yang lain, sekarang adalah waktu untuk berpikir lagi tentang pelajaran-pelajaran mengerikan dari abad lalu, dengan harapan bahwa para pemimpin kita, dengan dorongan kita, akan berpikir tentang bagaimana mereka dapat bekerja sama untuk membangun ketertiban internasional yang stabil.”[4] (bersambung; 1/4)
Penulis: F. Irawan (Syamina Edisi XIV/September 2014)
No comments:
Post a Comment