KIBLAT.NET – Akhir-akhir ini, majalah mingguan Perancis Charlie Hebdo menjadi sorotan banyak pihak. Eksekusi Kouachi bersaudara pada 7 Januari 2015 lalu menjadi pemicunya. Pro-kontra segera menyeruak. Para pemuka agama, pegiat media hingga politikus turut ambil suara merespon insiden Paris.
Media-media arus utama jelas memberikan dukungannya pada Charlie Hebdo. Pasalnya, majalah ini tergolong jenis satire, ejekan yang menyasar tokoh politik dan agama hanyalah bagian dari pekerjaaan mereka. Toh, bukan hanya Islam, Kristen pun jadi sasaran tembak mereka, begitu kilah para pendukungnya. Lain lagi berujar, kebebasan berekspresi dan berpendapat harus di atas segalanya.
Sebelum lebih jauh, mari kita dalami lebih jauh apa itu satire. Satire adalah gaya bahasa untuk menyatakan sindiran terhadap suatu keadaan atau seseorang. Satire biasanya disampaikan dalam bentuk ironi, sarkasme, atau parodi. Istilah ini berasal dari frasa bahasa Latin satira atau satura yang berarti campuran makanan (Wikipedia).
Jika kita menengok ke belakang, Perancis memang punya sejarah panjang pengejekan terhadap agama yang diserukan oleh gerakan antiklerus radikal. Sebuah gerakan yang menentang agama Katolik yang pada saat itu dikukuhkan sebagai agama negara. Pemikir antiklerus telah lama menyindir ajaran agama yang menurut mereka penuh dengan fanatisme, kebodohan dan kezaliman. Para penentang doktrin Katolik menggunakan karikatur, ironi dan penghujatan yang disuguhkan dengan humor, yang belakangan diadopsi oleh Charlie Hebdo untuk melawan Islam.
Sejak tahun 1534 M, François Rabelais dalam karyanya berjudul “Gargantua” telah mengejek para biarawan karena mereka “tidak giat seperti petani, atau menyembuhkan orang sakit seperti dokter” melainkan “melecehkan seluruh lingkungan dengan derak lonceng gereja mereka” dan kerap menggumamkan “legenda yang tak terhitung jumlahnya dan mazmur yang bahkan para biarawan itu sendiri tidak memahaminya.”
Antiklerus mencapai puncaknya pada Abad Pencerahan. Para filsuf seperti Voltaire gemar membawakan logika yang diasah dengan humor yang jahat, mengejek apa yang mereka lihat sebagai inkonsistensi dan absurditas dogma Gereja.
Marquis de Sade juga mengambil peran dalam gerakan antiklerus bahkan dengan cara yang ekstrem dan lebih mengejutkan. Novelnya menggambarkan biara sebagai sarang-sarang perompak yang panik. Salah satu novelnya yang berjudul, “La Philosophie dans le boudoir” (c. 1793) menggambarkan Bunda Maria sebagai sosok yang “kotor, pelacur tak tahu malu ” dan Yesus Kristus sebagai “bajingan,” dan “zalim.” Tidak mengherankan, pernyataan kasar Sade menempatkannya dalam masalah serius. Sampai hari ini, ia satu-satunya penulis Perancis yang telah menjalani hukuman penjara di bawah empat rezim politik berturut-turut.
Melihat realita sosiologis bangsa Perancis yang pada zaman itu berada di bawah kungkungan Gereja, maka kita dapat memahami bahwa satire merupakan produk budaya sekularisme dan liberalisme. Ejekan Charlie Hebdo merupakan produk sampingan dari budaya antiklerus Perancis. Setelah lebih dari 500 tahun diejek, Katolik akhirnya menjadi “terbanalisasi” (yaitu, kehilangan statusnya sebagai subjek tabu). Pemred Charlie Hebdo yang ikut terbunuh pada 7 Januari lalu, Stephane Charbonier sendiri pada tahun 2012 pernah mengatakan, “Kita harus konsisten sampai Islam juga terbanalisasi seperti Katolik.”
Inkonsistensi nilai-nilai liberalisme Charlie Hebdo
Charlie Hebdo tampaknya konsisten dalam memegang teguh nilai-nilai liberalisme dan perlawanannya terhadap Islam. Tewasnya 10 jurnalis yang mereka pandang sebagai martir liberalisme mungkin saja membenarkan hal itu. Tapi, Charlie Hebdo juga punya rapor merah terkait kebebasan berekspresi para jurnalis, kolumnis atau kartunisnya.
Menarik untuk mengetahui, faktanya Charlie Hebdo tak selalu membela kebebasan berekspresi. Mereka pernah memecat komikus mereka bernama Siné yang pada tahun 2008 membuat kartun tentang anak Sarkozy (Presiden Prancis waktu itu) yang mau beralih agama menjadi Yahudi demi menikah dengan anak pengusaha kaya. Siné segera dipecat oleh Charlie Hebdo dengan tuduhan anti semit.
Jauh sebelum itu, pada tahun 2000, salah satu jurnalis Charlie Hebdo, Mona Chollet juga dipecat karena melayangkan protes keras kepada Philippe Val, editor tabloid itu. Mona protes Charlie Hebdo menulis orang Palestina sebagai bangsa barbar. Val dituding abai terhadap fakta bahwa Palestina adalah warga berdaulat yang sedang mengalami perang.
Mona Chollet bukan orang yang pertama dipecat oleh Val. Sebelumnya, kolumnis Charlie Hebdo Philippe Corcuff juga dipecat karena melakukan protes. Dalam surat yang ia tulis pada 3 Desember 2004, beberapa tahun setelah ia keluar, Corcuff menyatakan bahwa ia tidak setuju kebijakan redaksi Charlie Hebdo yang abai terhadap Islam sebagai agama.
Inilah bukti standar ganda Charlie Hebdo dan para pendukungnya yang kerap membela tindakan permusuhan terhadap Islam atas dalih kebebasan. Menyinggung hal ini, ada satu kata yang sangat tegas disampaikan oleh Syaikh Usamah bin Ladin rahimahullah, ”apabila kebebasan berpendapat kalian mencederai agama kami, maka lapangkanlah dada-dada kalian atas kebebasan amal pembalasan kami.”
Maka, menyitir perkataan Syaikh Usamah di atas, kita hanya bisa berujar, “lapangkanlah dadamu, Charlie Hebdo..”
Oleh: Fajar Shadiq
No comments:
Post a Comment