Di seluruh dunia, pasukan militer negara harus menghadapi musuh non-negara. Perang semacam ini, yang kemudian disebut sebagai perang Generasi Keempat (Fourth Generation Warfare) atau yang lebih dikenal dengan singkatan 4GW. Ini merupakan tantangan yang sangat sulit. Hampir selalu, pasukan militer negara memiliki superioritas dalam hal kekuatan tempur, persenjataan, teknik, dan pelatihan dibanding lawannya. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa mereka lebih sering menerima kekalahan dibanding kemenangan.
Amerika dalam hal ini bisa menjadi sampel. Amerika dikenal sebagai negara adidaya dalam kekuatan tempur, persenjataan, teknik perang dan pelatihan militer. Namun kenyataannya selalu kalah. Karena itulah, analis Barat banyak membuat analisis rekomendasi bahwa strategi menghadapi kekuatan yang lebih lemah harus diubah, terutama menghadapi mujahidin.
Salah satu pakar militer terkemuka Amerika Serikat, John Boyd, pernah mengatakan “Saat saya masih muda, saya pernah berpikir bahwa jika Anda memiliki superioritas udara, superioritas darat, dan superioritas laut, Anda akan menang. Di Vietnam kita memiliki superioritas udara, superioritas darat, dan superioritas laut, namun kita kalah. Jadi, saya sadar bahwa ada sesuatu yang lebih penting daripada itu.”[1]
Dalam pandangan jihadis, seperti diungkapkan oleh Abu Ubaid Al-Qurasyi, perang generasi keempat adalah respons atas kebingungan Amerika untuk menemukan apa cara yang cocok untuk menghadapi front jihadis, terutama bersamaan dengan kesadaran umat untuk bangkit berjihad kembali. Beliau mengatakan, “Mereka [Amerika dan Barat] tercengang dengan perang generasi keempat yang cocok dengan gerakan jihad, khususnya saat umat Islam mulai kembali mendukung Jihad, setelah tak ada yang tersisa karena kehinaan yang mereka alami hampir setiap hari.” [2]
Menurut tokoh Al-Qaidah yang dekat dengan Syaikh Usamah bin Ladin tersebut, Amerika dan Barat paham benar karakter dari tantangan baru ini, dan mengakui bahwa ada kesulitan baru di depan mereka. Maka mereka harus mengubah total pelatihan, doktrin tempur, dan senjata, di samping mengubah cara memandang keamanan nasional.
Beliau menambahkan, “Sekarang, gerakan-gerakan Islam yang berada di depan serangan Salibis yang massif dan luar biasa, mereka harus menguasai karakter perang generasi keempat.”
Karakter Perang Generasi Keempat
Perang generasi keempat didefinisikan sebagai sebuah jenis perang yang mampu mengalahkan model perang generasi sebelumnya, yaitu perang manuver, dengan membuat superioritas keinginan politik. Perang telah memasuki generasi baru. Menurut analis Barat, ia bukanlah perang teknologi tinggi yang selama ini menjadi kekuatan Barat, namun ia adalah perkembangan dari bentuk insurgensi yang menyerang kelemahan mereka.[3]
Perang generasi keempat merupakan transformasi dari tiga model perang sebelumnya. Menurut Katoch, selama ini tentara dilatih untuk melakukan perang dengan cara yang sudah usang. Cara para tentara tersebut berperang dalam sebuah lingkungan yang membuat mereka mengalami disfungsi akan menghasilkan penyia-nyiaan sumber daya dan perang yang semakin panjang. Kalaupun kemenangan berhasil dicapai, itu pun diperoleh dengan biaya yang tidak proporsional.[4]
Ciri utama Perang Generasi Keempat adalah penurunan loyalitas kenegaraan dan meningkatnya loyalitas alternatif, seperti keagamaan dan kesukuan. Kepercayaan kepada negara superpower didelegitimasi, berpindah kepada loyalitas, misalnya keagamaan, yang bersifat transnasional.
Perang Generasi Keempat juga tidak membedakan militer dan sipil. Prajurit 4GW dapat menyusup ke negara lawan, hidup di antara masyarakatnya, dan makan dari mereka tanpa disadari kehadiran mereka. Globalisasi sangat membantu kemampuan ini. Hubungan antar warga dunia dan antar negara membuat penyusupan ke dalam masyarakat target menjadi lebih mudah dan anggota masyarakat yang disusupi tidak menaruh kecurigaan.
Medan perang tidak didefinisikan. Ia bisa terjadi dalam satu negara atau wilayah atau di mana saja di dunia ini. Hal ini memberikan ruang manuver yang tak terbatas. Medan perang konvensional bergeser menuju area di mana dampak maksimal bisa diraih dengan usaha minimal.
Dalam Perang Generasi Keempat, memenangkan kesetiaan dari masyarakat adalah sama pentingnya dengan memenangkan perang.
Kelemahan Perang Generasi Keempat adalah kurangnya komunikasi. Ini merupakan kelemahan terbesar organisasi 4GW. Hal ini membuat mereka kurang memiliki ketangkasan strategis. Kelemahan lain dari aktor non-state adalah kurangnya kontrol kualitas. Selain itu, titik rawan mereka terakhir, dan mungkin yang paling berbahaya bagi prajurit 4GW, adalah bahwa mereka merasa sulit untuk menangani kesuksesan. [Bersambung]
Penulis: Agus Abdullah (Diadopsi dari laporan khusus Syamina Edisi XV/Oktober 2014/K. Mustarom)
———————–
No comments:
Post a Comment